![]() |
Ilustrasi terpidana korupsi. (Foto: KPK) |
Banyuwangi Terkini - Dalam tindak pidana korupsi, salah satu aspek penting yang sering menjadi perhatian adalah pembayaran uang pengganti. Pembayaran uang pengganti merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh terpidana korupsi yang telah diadili dan divonis bersalah. Hal ini berlaku sebagai bentuk pengembalian atas kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pidana yang dilakukan oleh terpidana.
Namun, bagaimana jika terpidana tidak mampu atau tidak bersedia membayar uang pengganti tersebut? Apakah terdapat sanksi tambahan yang bisa dikenakan? Jawabannya adalah ya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, terpidana dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dan kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan gugatan secara perdata terhadap terpidana tersebut.
Kejaksaan Bisa Menggugat Secara Perdata
Kasus serupa pernah terjadi di Pengadilan Negeri Purwodadi, di mana seorang terpidana tindak pidana korupsi tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar uang pengganti. Dalam kasus tersebut, Kejaksaan menggugat terpidana yang gagal membayar uang pengganti senilai Rp152.603.310,- (seratus lima puluh dua juta enam ratus tiga ribu tiga ratus sepuluh rupiah). Pengadilan Negeri Purwodadi kemudian memutuskan bahwa terpidana wajib membayar kerugian materiil sesuai dengan jumlah yang belum dilunasi.
Pengadilan dan Mahkamah Agung: Pembayaran Uang Pengganti adalah Kewajiban Hukum
Putusan pengadilan ini semakin mempertegas bahwa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi adalah sebuah kewajiban hukum. Mahkamah Agung, dalam putusannya No. 121 PK/Pdt/2011, menyatakan bahwa ketidakmampuan terpidana dalam membayar uang pengganti tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari kewajiban ini.
Dalam amar putusan Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa alasan ketidakmampuan finansial dari terpidana tidak dapat membebaskannya dari tanggung jawab hukum untuk membayar uang pengganti. Mahkamah menilai bahwa Judex Facti (pengadilan tingkat pertama) telah membuat kekeliruan dalam memutus perkara ini karena memberikan putusan yang melampaui tuntutan (ultra petita). Oleh karena itu, Mahkamah Agung memutuskan bahwa terpidana harus tetap membayar uang pengganti meskipun telah menyatakan dirinya tidak memiliki harta benda.
Gugatan Perdata oleh Kejaksaan: Solusi Hukum untuk Melindungi Kerugian Negara
Dalam banyak kasus tindak pidana korupsi, Kejaksaan memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata terhadap terpidana yang tidak membayar uang pengganti. Ini adalah langkah hukum yang dirancang untuk memastikan bahwa kerugian negara akibat tindakan korupsi dapat dipulihkan. Proses gugatan ini sering kali dilakukan ketika terpidana berusaha untuk menghindari pembayaran dengan alasan tidak memiliki kemampuan finansial.
Namun, terlepas dari klaim ketidakmampuan finansial, Mahkamah Agung tetap berpegang pada prinsip bahwa terpidana harus bertanggung jawab penuh atas kerugian negara yang ditimbulkannya. Ketika uang pengganti tidak dibayar, Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara berhak mengajukan gugatan untuk menuntut pembayaran tersebut melalui jalur perdata.
Implikasi Penting bagi Terpidana Korupsi
Putusan ini menjadi acuan penting dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Bagi terpidana, ini merupakan sinyal kuat bahwa tanggung jawab atas kerugian negara tidak bisa diabaikan. Meskipun seorang terpidana telah menjalani hukuman penjara, kewajiban untuk membayar uang pengganti tetap berlaku dan harus dilunasi.
Selain itu, bagi pihak kejaksaan, putusan ini memperkuat otoritasnya dalam menuntut pemenuhan kewajiban uang pengganti melalui jalur perdata. Gugatan perdata yang diajukan oleh Kejaksaan menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk memulihkan kerugian negara akibat tindakan korupsi.
Kesimpulan
Pembayaran uang pengganti dalam kasus korupsi bukanlah opsi, melainkan kewajiban hukum bagi setiap terpidana. Ketidakmampuan finansial bukanlah alasan yang sah untuk menghindari kewajiban ini. Dengan adanya hak Kejaksaan untuk mengajukan gugatan perdata, negara memiliki mekanisme yang kuat untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.***
Sumber: kejaksaan.go.id