GUz9GfGlGpCiGUz7TfAlTpz7Td==

Kebijakan Pasar Bebas GATT Sempat Rugikan Indonesia, Ini Penjelasannya!

Ilustrasi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). (Foto: Istimewa)

Banyuwangi Terkini - Hai, Sobat Sejarah! Kalau bicara tentang pasar bebas, pasti nggak akan jauh-jauh dari perekonomian. Yup, pasar bebas dikenal khalayak sebagai salah satu strategi dalam meningkatkan perekonomian suatu negara. Tapi di sisi lain, khususnya pasar bebas GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) justru bikin perdagangan Internasional terhimpit, ekspor negara berkembang menjadi rumit, hingga kesempatan kerja menjadi sulit. Duh, kok bisa? 

Latar Belakang Berdirinya GATT

Akibat tidak adanya pihak pengatur tarif dan perdagangan, banyak terjadi pelanggaran dan diskriminasi dalam perdagangan internasional. So, dibentuklah GATT pada 1947 yang markas besarnya ada di Jenewa, Swiss. Bisa dibilang GATT ini berfungsi sebagai forum negosiasi, penyelesaian sengketa, dan sebagai pengatur perdagangan internasional. 

Berdasarkan e-journal dengan judul “Dilema Penerapan GATT di Bidang Ketenagakerjaan dalam Perspektif Kedaulatan RI” (Lanny Ramli) yang tayang di bphn.go.id, sasaran utama GATT adalah untuk mempromosikan pembebasan perdagangan sampai pengurangan substansiil tarif-tarif dan penghalang-penghalang lain untuk berdagang. Oleh sebab itu, dengan adanya organisasi ini diharapkan dapat menciptakan iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas. 

Fyi, GATT juga mensponsori berbagai perundingan yang biasa disebut rounds atau putaran untuk mendukung tujuannya. Adapun putaran terbesarnya ialah Uruguay Round, putaran ke delapan yang dimulai di Punta Del Este, Uruguay, pada September 1986 dan berakhir di Marrakesh, Maroko, pada Maret 1994 dengan partisipasi dari 123 negara anggota, termasuk Indonesia. Disebut sebagai putaran terbesar karena putaran ini menjadi cikal bakal terbentuknya WTO (World Trade Organization) yang akan menggantikan GATT. 

Putaran-putaran perundingan multilateral yang berlangsung sebelum Putaran Uruguay berturut-turut adalah, Geneva Round (1947), Anney Round (1949), Torquay Round (1950-1951), Geneva Round (1956), Dillon Round (1960-1961), Keddedy Round (1964-1967), dan Tokyo Round (1973-1979).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 “Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)”, bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi topik dalam agenda Uruguay Round, yaitu:

  1. Tariffs (Tarif)
  2. Non-Tariff Measures (Tindakan Non Tarif)
  3. Natural Resource-Based Products (Produk-produk yang berasal dari sumber daya alam)
  4. Textiles and Clothing (Tekstil dan pakaian jadi)
  5. Agriculture (Pertanian)
  6. Pasal-pasal GATT
  7. Multilateral Trade Negotiation Agreement/Arrangements (Persetujuan/pengaturan hasil-hasil perundingan perdagangan multilateral)
  8. Subsidies and Countervailing Measures (Subsidi dan tindakan pengimbang)
  9. Dispute Settlements (Penyesuaian sengketa)
  10. Trade Related Aspects Goods/TRIPS (Aspek-aspek dagang yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, termasuk perdagangan barang palsu).
  11. Trade Related Investment Measures/TRIMs (Ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan).
  12. Functioning of the GATT System/FOGS (Fungsionalisasi sistem GATT)
  13. Safeguards (Tindakan pengamanan)
  14. Services (Jasa)

Perdagangan Internasional Terhimpit

Loh, bukannya dengan pasar bebas perdagangan internasional semakin luas dan menguntungkan ya?

Yup, itu benar. Tetapi, kalau kita telusuri lebih mendalam, beberapa faktor penerapan pasar bebas akan menyebabkan perdagangan menjadi macet. Sebab, dalam menghadapi perkembangan dan gejolak ekonomi dunia yang sedang meningkatkan kadar hubungan interdepensinya serta mempertajam persaingan, menyebabkan negara-negara  melakukan berbagai langkah penyesuaian yang sebagian cenderung bersifat proteksionistis. 

Nah, keadaan inilah yang dapat mengakibatkan macetnya arus perdagangan internasional, terutama bagi kepentingan ekspor negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. So, di sini yang menjadi penyebab bukan pasar bebasnya. Lamun, faktor-faktor dalam penerapannya ya, Sobat!

Selain itu, berikut beberapa penyebab lainnya:

  1. Perlindungan Industri Dalam Negeri: Beberapa negara menerapkan tarif dan kuota yang tinggi untuk melindungi industri lokal dari kompetisi internasional, sehingga perdagangan menjadi terhambat.
  2. Perbedaan Standar dan Regulasi: Berbagai standar produk dan regulasi antar negara dapat mempersulit akses pasar dan meningkatkan biaya perdagangan.
  3. Ketidakstabilan Ekonomi: Krisis ekonomi atau politik di negara tertentu dapat mengganggu perdagangan internasional dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
  4. Perjanjian yang Tidak Seimbang: Beberapa negara merasa bahwa perjanjian di bawah GATT tidak menguntungkan bagi mereka, yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan dan kurangnya kerjasama.
  5. Birokrasi dan Korupsi: Proses yang rumit dan adanya praktik korupsi dapat menghambat investasi dan perdagangan.
  6. Eksploitasi Perusahaan Kecil: Perusahaan yang lebih besar dapat mengeksploitasi perusahaan kecil karena jumlah modal yang lebih besar.
  7. Perang Harga: Pasar bebas dapat memicu perang harga dan persaingan tidak sehat.
  8. Monopoli Perdagangan: Pasar bebas dapat memicu monopoli perdagangan yang membahayakan perusahaan lain di industri yang sama. 

Kesempatan Kerja Menjadi Sulit

Apakah kalian mengetahui PT Freeport Indonesia? Itu loh, perusahaan tambang yang berlokasi di Mimika, Papua. 

Pernah nggak sih kepikiran kalau sumber daya alamnya sepenuhnya milik Indonesia, tetapi pengelolaannya justru dominan dari tenaga kerja asing? Bahkan, pekerja dari Indonesia kebanyakan sebagai buruhan saja. Rugi dong? 

Sobat Sejarah, penerapan kebijakan GATT mensyaratkan adanya pasar bebas. Dengan pasar bebas, tenaga kerja asing leluasa masuk ke Indonesia. Di sisi lain, masuknya tenaga kerja asing secara membuat peluang kerja bagi tenaga kerja Indonesia sendiri semakin sempit. 

Dalam pasar bebas yang diharuskan untuk menghadapi perlindungan terhadap tenaga kerja lokal dan diskriminasi terhadap tenaga kerja asing, Indonesia tertinggal ketika harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang memiliki keterampilan dan pendidikan lebih baik. Hal ini serupa dengan kondisi PT Freeport Indonesia tadi. Umumnya, pekerja-pekerja profesional dengan jabatan tertinggi berasal dari tenaga kerja asing. Sedangkan bagian buruh dengan jabatan rendah mayoritas dari tenaga kerja domestik, khususnya masyarakat sekitar pertambangan. 

Adanya mobilitas tenaga kerja dalam pasar bebas akan membuat kesempatan kerja bagi angkatan kerja semakin luas dengan cakupan wilayah yang luas pula. Tenaga kerja bisa memilih jenis pekerjaan dan wilayah kerja sesuai dengan yang mereka inginkan dan perusahaan juga dapat memilih tenaga kerja yang sesuai dengan kriteria mereka. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat Indonesia bersenang hati, karena justru ketika pasar barang dan jasa itu bebas telah dimulai tanpa adanya kesiapan skill berkualitas hanya akan menjadikan masyarakat sebagai penonton kesuksesan di negeri sendiri. (At-Tauzi : Jurnal Ekonomi Islam Vol 16 “Analisis Kebijakan Indonesia Menghadapi Tenaga Kerja Asing Dalam Pasar Bebas”, 2017). 

Dampak terhadap Perekonomian Indonesia (Sektor Pertanian)

Sebagai negara berkembang, Indonesia akan lebih sedikit menikmati menfaat perdagangan dunia. Karena, semakin maju suatu negara, semakin banyak manfaat yang didapat. Begitupun sebaliknya, semakin terbelakang suatu negara, makin sedikit manfaat yang diperoleh, bahkan ada kemungkinan suatu negara yang terbelakang justru mengalami kerugian. 

Salah satu kontroversi yang signifikan dalam Uruguay Round adalah sektor pertanian. Dilansir dari kompas.com dengan Artikel berjudul “Uruguay Round: Transformasi Rezim Perdagangan Global Beserta Kontrofersi”, negara-negara maju cenderung ingin membuka pasar pertanian mereka kepada produk pertanian dari negara berkembang, sementara negara berkembang ingin melindungi sektor pertanian mereka yang masih dalam tahap berkembang. Negara berkembang bimbang terkait impor pertanian yang murah akan mengancam keberlangsungan pertanian negaranya. 

Misalnya nih, Jepang sebagai negara maju dan memiliki pertanian unggul, bisa mendapatkan akses baru ke pasar negara berkembang, contoh Indonesia. Sementara petani negara Indonesia bisa merasa terancam oleh persaingan impor yang lebih murah dari Jepang. 

Dengan demikian, bagi usaha produksi substitusi impor akan terasa semakin berat persaingannya. Bisa disebabkan karena penurunan tarif yang berakibat harga produk impor lebih murah, atau bisa juga karena penurunan subsidi menyebabkan usaha ini kurang kompetitif. 

Berdasarkan e-journal dengan judul “Dampak GATT Terhadap Perekonomian Indonesia Khususnya di Sektor Pertanian dan Strategi Agribisnis Untuk Menghadapinya” (Masyhuri, 2017) yang tayang di jurnal.ugm.ac.id, bahwa sektor pertanian Indonesia yang terdiri dari subsektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan melakukan ekspor dan impor. Subsektor perkebunan, perikanan dan kehutanan lebih banyak ekspornya daripada impornya. Sedangkan subsektor pertanian tanaman pangan dan peternakan lebih banyak impornya daripada ekspornya. 

Maka dari itu, diperlukan strategi yang tepat  untuk menyesuaikan kekuatan dan kelemahan pertanian Indonesia dengan kebijakan pasar bebas GATT. 

Adapun strategi yang paling diprioritaskan dalam menghadapi pasar bebas GATT adalah peningkatan daya saing, peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan peluasan pasar, serta peningkatan efisiensi. 

Berikut kebijakan-kebijakan yang diperlukan:

  1. Promosi dan peningkatan ekspor. 
  2. Perwilayahan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing daerah. Sehingga memudahkan dalam pengendalian kualitas produk agroundustri dan memudahkan pemasaran serta pemenuhan permintaan pasar.
  3. Reorganisasi usaha tani dengan membentuk kelompok. Agar lebih efisien dan mempunyai daya saing yang lebih baik atau kekuatan tawar menawar yang tinggi perlu membentuk kelompok. Dengan adanya perwilayahan komoditas akan lebih memudahkan pembentukan usahatani berkelompok ini.
  4. Pengembangan kemitraan antara perusahaan besar atau koperasi dan petani. 
  5. Kebijakan agribisnis yang terintegrasi yang antara lain mengatur keterkaitan antar subsistem. Agribisnis akan dapat efisien dan efektif apabila para pelaku di masing-masing subsistem dapat berfungsi sebagaimana mestinya secara adil dan serasi, sehingga segala macam kebijakan harus mengacu pada kehidupan masing- masing pelaku. 
  6. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia. Peningkatan sumberdaya manusia dapat di- lakukan dengan inkubator agribisnis, sekolah lapang, penyuluhan yang efektif, dan lain-lain.
  7. Kebijakan pengembangan teknologi. Teknologi yang digunakan petani masih rendah, misalnya teknologi pengolahan tanah dan budidaya pertanian, varietas yang tidak unggul, pemakaian alat manual, penanganan pasca panen yang sederhana, dan lain-lain. Teknologi berupa teknologi biologi, fisik, kimiawi, dan sosial ekonomi. Karena itu perlu diciptakan teknologi yang sesuai, agar produktifitas meningkat, kwalitas meningkat dan efisien.
  8. Modernisasi industri pedesaan.
  9. Pengembangan infrastruktur.
  10. Efisiensi jasa layanan agribisnis lebih berkembang sesuai dengan tuntutan pasar global. 
  11. Peningkatan aktifitas ekonomi pedesaan yang dapat meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan. 
  12. Diseminasi informasi teknologi dan pasar yang lebih efektif.
  13. Peningkatan efisiensi pemasaran semua komoditas agribisnis.

Nah Sobat Sejarah, dari penjelasan di atas, kita jadi tahu kalau ternyata kebijakan pasar bebas GATT tidak hanya menguntungkan saja, melainkan memiliki sisi negatif pula, bahkan sempat merugikan negara kita. 

Selain itu, informasi yang nggak kalah penting lagi, ternyata sebelum adanya WTO, organisasi internasional yang mengatur perdagangan antarnegara saat ini. Rupanya, sebelum itu ada GATT yang mengurus masalah perdagangan internasional. Peristiwa yang menjadi tonggak pergantian GATT ke WTO adalah Uruguay Round tadi, Sobat! 

Tetap semangat! Semoga artikel ini penuh makna dan menambah ilmu yang bermanfaat.

Penulis: Rezita, Aurra, Khairani, Salsabila, Thania, Ardi dan Zulfizar

Editor: Satria