Ilustrasi South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC). (Foto: Istimewa) |
Banyuwangi Terkini - Konflik Kashmir merupakan salah satu isu paling rumit dan berkepanjangan di Asia Selatan. Sebelum memahami lebih jauh mengenai konflik ini, penting untuk mengenal organisasi yang terlibat dalam upaya penyelesaiannya, yaitu South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC). Perlu diketahui, SAARC didirikan pada tanggal 8 Desember 1985, atas inisiatif Presiden Bangladesh, Zia ul-Haq Rahman.
Berdasarkan jurnal “Politik Luar Negeri Perdana Menteri Manhoman Singh Terhadap Terorisme di India” (Janu Tri Atmaja, 2015) mengemukakan bahwa organisasi ini dianggap mampu membawa perekonomian di wilayah Asia Selatan menjadi lebih baik dimasa depan serta dapat menciptakan perdamaian dan keamanan. SAARC bertujuan untuk menciptakan solidaritas di antara negara-negara anggotanya, yang terdiri dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, Bhutan, Maladewa, dan Afghanistan.
Namun, meskipun SAARC memiliki potensi untuk menjadi mediator dalam konflik yang ada, keberadaannya sering kali terhambat oleh ketegangan yang berkepanjangan antara India dan Pakistan. Dalam jurnal berjudul “Konflik India dan Pakistan Mengenai Wilayah Kashmir Beserta Dampaknya 1947-1970” (Monica Krisna Ayunda dan Rhoma Dwi Aria, 2024) mengemukakan bahwa ketegangan yang terjadi ini ketika Inggris memberikan kemerdekan kepada India, didalam pemberian kemerdekaan kepada negara tersebut sempat terjadi permasalahan keagamaan yang mengakibatkan terciptanya suatu negara baru yang diberi nama negara Pakistan pada tahun 1947.
Konflik ini terjadi ketika pemimpin Kashmir Hari Singh beragama Hindu memiliki warga negara yang bermayoritas beragama islam. Pada tanggal 15 Agustus 1947 Kashmir sebagai wilayah kepangeranan diberi penawaran untuk bergabung dengan salah satu negara di India atau Pakistan. Konflik ini menjadi sumber ketegangan yang berlanjut yang menimbulkan peperangan antara India dan Pakistan yang berlangsung lama serta menciptakan pembentukan garis genjatan senjata “Case Fire Line”, selain itu peperangan yang berlanjut lama ini mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi di seluruh kawasan.
Penyebab Konflik Kashmir
Untuk memahami konflik Kashmir secara mendalam, penting untuk menelusuri akar penyebabnya. Dikutip dari jurnal "Studi Tentang Posisi Kashmir Dalam Hubungan India-Pakistan" (Chairul Aftah, 2005) mengemukakan bahwa penyebab dari konflik Kashmir berawal saat Perang Dunia II, Inggris mengalami kesulitan finansial untuk mempertahankan koloninya, termasuk India. Ketidakmampuan ini mendorong Inggris untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah India, yang pada akhirnya dibagi menjadi dua negara, yakni India dan Pakistan. Pemisahan ini dilatarbelakangi oleh ketegangan antara dua kelompok utama di kawasan tersebut. Di satu pihak, Liga Muslim menginginkan negara sendiri untuk umat Muslim di Asia Selatan, sedangkan di pihak lain, Kongres India, yang didominasi oleh umat Hindu, mendukung pembentukan negara yang berasaskan nilai-nilai Hindu..
Namun, masalah muncul ketika Kashmir, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dipimpin oleh seorang raja Hindu, Hari Singh. Ketika Hari Singh ragu untuk bergabung dengan Pakistan, ia memilih untuk tetap netral. Keputusan ini memicu ketegangan, yang berujung pada invasi pasukan Pakistan ke Kashmir. Dalam situasi yang kacau, Hari Singh akhirnya setuju untuk bergabung dengan India, dengan imbalan bantuan militer. Keputusan ini memicu konflik bersenjata antara India dan Pakistan dan membagi Kashmir menjadi dua bagian yang dikuasai oleh masing-masing negara, yaitu Jammu dan Kashmir yang dikelola oleh India, serta Azad Kashmir yang dikuasai oleh Pakistan.
Konflik ini semakin rumit dengan adanya ketegangan politik dan militer antara kedua negara, yang melibatkan isu-isu identitas nasional dan agama. Masyarakat Kashmir merasa terpinggirkan dalam keputusan-keputusan politik yang diambil oleh pemerintah India dan Pakistan. Diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakpuasan masyarakat memperburuk situasi, menciptakan siklus kekerasan yang terus berulang. Selain itu, intervensi kekuatan eksternal, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, juga turut mempengaruhi dinamika konflik ini, menambah kompleksitas dan ketegangan yang ada.
Keterlibatan SAARC dalam Konflik Kashmir
SAARC berperan sebagai platform untuk dialog dan kerjasama di antara negara-negara Asia Selatan. Namun, perannya dalam konflik Kashmir sangat terbatas. Dikutip dari jurnal “Peran Organisasi Internasional dalam Menangani Konflik Regional Studi Kasus: SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) dalam Konflik India dan Pakistan” (Andi Sitti Rohadatul Aisy, 2015), sebagai organisasi regional yang mengemban misi memperkuat solidaritas antar negara Asia Selatan, SAARC memiliki potensi besar untuk menjadi mediator dalam meredakan ketegangan antara India dan Pakistan.
Kehadiran kedua negara sebagai anggota kunci SAARC, serta dampak signifikan konflik mereka terhadap stabilitas kawasan, menjadikan SAARC sebagai forum yang paling relevan untuk mencari solusi damai. Meskipun upaya-upaya diplomatik melalui pertemuan-pertemuan tahunan terus dilakukan, perselisihan mendasar dan intervensi kekuatan eksternal seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Amerika Serikat seringkali menghambat tercapainya konsensus. Dalam banyak kesempatan, ketegangan militer yang meningkat di Kashmir membuat proses diplomasi menjadi sulit. SAARC berusaha mendorong dialog melalui berbagai inisiatif, seperti pertemuan tahunan dan kerjasama dalam bidang ekonomi dan sosial, tetapi sering kali tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Sebagai tambahan, intervensi kekuatan eksternal juga menjadi penghalang bagi upaya SAARC. Keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok dalam politik Asia Selatan sering kali menambah kompleksitas konflik, dengan masing-masing negara memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam konteks ini, SAARC dihadapkan pada tantangan untuk tetap netral dan tidak terpengaruh oleh kepentingan eksternal, sehingga dapat berfungsi sebagai mediator yang efektif.
Hasil dari Upaya SAARC dalam Menangani Konflik Kashmir
Upaya SAARC untuk menyelesaikan konflik Kashmir sudah mencakup berbagai pendekatan, mulai dari diplomasi formal hingga diplomasi publik. Dalam jurnal “Resolusi Konflik Pakistan dan India dalam Perebutan Wilayah Kashmir dan Peluang Mediator Bagi Indonesia” (Brilliant Windy Khairunnisa, 2021), Kashmir telah menjadi wilayah sengketa antara India dan Pakistan sejak kedua negara merdeka pada 1947. Konflik ini terus berlangsung dan berubah-ubah, tergantung pada hubungan bilateral antara kedua negara. Beberapa tahun terakhir, ada kesadaran bahwa pendekatan yang lebih inklusif, yang melibatkan masyarakat lebih banyak, sangat penting untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi perdamaian.
Namun, upaya SAARC untuk mengadakan pertemuan rutin dan memperkuat kerja sama antarnegara belum menunjukkan hasil yang signifikan. Beberapa inisiatif, seperti pertemuan antar pemimpin negara anggota dan dialog antara masyarakat sipil, memang menunjukkan potensi untuk membangun saluran komunikasi yang lebih baik. Tapi, ketidakpastian yang terus berlanjut di Kashmir membuat proses perdamaian ini sangat sulit.
Di sisi lain, film “Bajrangi Bhaijaan” bisa jadi contoh bagaimana media populer bisa menjadi alat untuk menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi. Film ini berhasil mengangkat cerita yang bisa menghubungkan emosi penonton dari India dan Pakistan, sehingga mendorong dialog yang lebih positif antara kedua negara.
Meski begitu, hasil yang dicapai oleh SAARC dalam menyelesaikan konflik Kashmir masih jauh dari harapan. Meskipun ada beberapa kemajuan, seperti pertemuan bilateral dan dialog informal, masalah utama yang menyebabkan sengketa Kashmir tetap ada. Konflik ini bukan hanya soal wilayah, tetapi juga menyangkut identitas nasional, sejarah, dan perasaan yang mendalam dari masyarakat di kedua belah pihak.
Kesimpulan
Konflik Kashmir memang menjadi salah satu masalah besar di Asia Selatan yang butuh perhatian serius dan solusi yang tidak Cuma sementara. Meskipun SAARC seharusnya bisa jadi mediator yang baik, kenyataannya ada banyak tantangan yang menghalangi, seperti ketidakpercayaan antara India dan Pakistan, campur tangan dari negara-negara luar, dan dinamika politik di dalam negeri. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan yang lebih melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil dan tokoh agama, untuk membantu proses rekonsiliasi. Dengan melibatkan masyarakat lokal, proses dialog bisa berjalan lebih baik dan lebih memahami betapa rumitnya masalah ini.
Selain itu, dukungan dari komunitas internasional juga sangat penting untuk mendorong perdamaian dan menciptakan stabilitas di kawasan tersebut. Menyelesaikan konflik Kashmir bukan cuma soal India dan Pakistan saja, tetapi juga soal bagaimana para pemimpin, diplomat, dan masyarakat bisa bekerja sama untuk membangun pemahaman yang lebih dalam. Kalau semua pihak bekerja bersama, diharapkan perdamaian yang tahan lama bisa tercapai, yang tentunya akan menguntungkan kedua negara dan rakyatnya.
Intinya, menyelesaikan konflik ini tidak hanya soal masalah wilayah, tapi juga soal membangun nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan pengertian antara dua negara yang sudah terpecah cukup lama. Meski usaha SAARC untuk menyelesaikan konflik Kashmir masih panjang, dengan komitmen yang kuat dari semua pihak dan dukungan internasional, kita masih bisa berharap bahwa masa depan di Asia Selatan bisa lebih baik bagi generasi mendatang.***
Penulis: Dera, Khilly, Daffa, Devika, dan Lanang
Editor: Satria