GUz9GfGlGpCiGUz7TfAlTpz7Td==

Mangadhyayaksara: Upaya Menghidupkan Tradisi Literasi Kuno di Kabupaten Jember

Kegiatan Mangadhyayaksara: Membaca Jember Melalui Prasasti. (Foto: Istimewa)

BANYUWANGITERKINI.ID Kabupaten Jember yang berada di ujung timur Pulau Jawa menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang tidak kalah dengan daerah-daerah lain di kawasan Tapal Kuda, seperti Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, dan Lumajang. Jika Banyuwangi dikenal luas melalui Ingatan Kolektifnya, yakni Lontar Sri Tanjung, maka Jember memiliki Prasasti Congapan yang menjadi salah satu penanda penting mengenai kehidupan masyarakat Jember pada masa klasik.

Kekayaan sejarah tersebut memantik perhatian Gazza Triatama Ramdhani, seorang sejarawan muda dan mahasiswa aktif Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember. Gazza menaruh kepedulian khusus pada sejarah dan kebudayaan Jember, khususnya yang berkaitan dengan aksara Kawi. Dari kegelisahan akademik dan kesadaran budaya itu, lahirlah gagasan program bertajuk “Mangadhyayaksara: Membaca Jember Melalui Prasasti.”

Program ini dirancang sebagai bentuk upaya pelestarian pengetahuan yang tergurat dalam Prasasti Congapan. Salah satu wujud konkret dari pelestarian tersebut adalah kegiatan menggurat aksara Kawi pada media lontar, yang menjadi pengalaman langsung bagi peserta untuk berinteraksi dengan tradisi literasi masa lalu. Dengan cara ini, aksara Kawi tidak hanya diperkenalkan secara teoritis, tetapi juga dihidupkan kembali melalui praktik nyata.

Penyelenggaraan kegiatan ini didukung penuh oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur, dengan melibatkan berbagai pihak. Di antaranya adalah Yayasan Studi Sejarah Kulit Pohon, Yayasan Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Murtasiya, pelaku budaya lokal, komunitas sejarah, serta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jember. Kolaborasi lintas elemen ini menjadikan Mangadhyayaksara sebagai tonggak penting, sebab kegiatan ini merupakan upaya pelestarian kebudayaan pertama di Jember yang memberikan kesempatan kepada audiens untuk mengalami secara langsung proses menulis aksara Kawi di atas lontar.

Sesi foto peserta beserta narasumber. (Foto: Istimewa)

Kegiatan berlangsung selama dua hari, pada Sabtu–Minggu, 20–21 September 2025. Pada hari pertama, acara dimulai pukul 18.00 dengan pembukaan yang dilanjutkan dengan penyampaian materi pengantar mengenai aksara Kawi oleh Gazza Triatama Ramdhani. Dalam pemaparannya, Gazza menekankan bahwa aksara merupakan pintu masuk untuk memahami kembali identitas lokal. Ia juga membagikan sekilas informasi tentang bukunya yang berjudul “Aksara Kawi Kwadrat: Sejarah, Seni, dan Popularitas”, yang diterbitkan oleh Penerbit Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Murtasiya. Buku tersebut menjadi salah satu sumber pengetahuan tambahan yang memperkaya diskusi tentang aksara kuno.

Pada hari kedua, kegiatan berlanjut dengan seminar aksara Kawi yang menghadirkan pembicara utama Drs. Ismail Lutfi, M.A., seorang epigraf dari Malang sekaligus dosen Universitas Negeri Malang. Seminar ini juga menampilkan materi lanjutan dari Gazza Triatama Ramdhani. Jalannya diskusi dipandu oleh M. Fadlal Khayri, mahasiswa aktif Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam UIN KHAS Jember, yang berperan sebagai moderator. Seminar berlangsung interaktif dengan berbagai pertanyaan dari peserta mengenai sejarah aksara Kawi dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat masa kini.

Dalam penjelasannya, Gazza menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar mengenalkan kembali aksara Kawi yang pernah hadir di Nusantara. Lebih dari itu, kegiatan ini menjadi ajakan agar generasi muda, pegiat budaya, dan komunitas lokal turut mengambil peran aktif dalam merawat pengetahuan masa lalu. Menurut Gazza, aksara Kawi adalah rekaman pengetahuan yang sangat berharga, sebab banyak nilai dan identitas bangsa yang tergurat dalam prasasti maupun naskah kuno.

“Merawat aksara berarti merawat identitas. Dengan memahami kembali aksara Kawi, kita tidak hanya belajar tentang sejarah, tetapi juga menjaga kesinambungan pengetahuan yang membentuk jati diri masyarakat Jember,” ungkap Gazza dalam salah satu sesi wawancara pra-kegiatan.

Sementara itu, Drs. Ismail Lutfi menambahkan bahwa aksara kuno seperti Kawi bukan hanya tinggalan masa lalu, melainkan juga jendela untuk membaca kondisi sosial, politik, dan budaya masyarakat di masa klasik. Menurutnya, semakin banyak generasi muda yang peduli pada aksara, maka semakin besar pula peluang untuk menjaga keberlanjutan pengetahuan sejarah bangsa.

Dengan adanya Mangadhyayaksara, diharapkan lahir kesadaran kolektif bahwa pelestarian budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau akademisi tingkat lanjut, melainkan juga generasi muda yang akan melanjutkan tongkat estafet pengetahuan. Kegiatan ini menjadi awal dari gerakan yang lebih luas untuk menghidupkan kembali aksara sebagai bagian dari warisan yang relevan dengan kehidupan masyarakat masa kini.***

Ketik kata kunci lalu Enter

close