![]() |
| Pemikiran Mahatma Gandhi dan pengaruhnya terhadap Nasionalisme di Indonesia. (Foto: Istimewa) |
BANYUWANGITERKINI.ID - Pada tahun 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Duta Besar India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat, memperingati 150 tahun kelahiran Mahatma Gandhi. Acara ini bukan sekadar seremoni diplomatik, melainkan momentum penting untuk mengenang salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia modern — Mohandas Karamchand Gandhi, sang pelopor gerakan tanpa kekerasan (non-violence movement).
Peringatan tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh Gandhi, tidak hanya di India, tetapi juga di Indonesia dan banyak negara lain yang mengalami penjajahan bangsa Eropa. Seperti India, Indonesia juga memiliki catatan panjang perjuangan rakyatnya melawan kolonialisme dengan semangat kebersamaan dan kedamaian. Oleh karena itu, memperingati Mahatma Gandhi di Indonesia memiliki makna filosofis yang mendalam: menyerap nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan kemandirian yang dia perjuangkan.
Latar Belakang Kehidupan Gandhi: Dari Kasta Bania hingga Tokoh Dunia
Mahatma Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat, India, dari keluarga elit kasta Bania yang dikenal taat beragama Hindu. Sejak kecil, Gandhi sudah dididik dengan nilai-nilai moral tinggi, seperti vegetarianisme, kesederhanaan, toleransi beragama, dan penolakan terhadap kekerasan.
Didikan tersebut menjadi fondasi utama yang membentuk kepribadiannya. Meski menempuh pendidikan hukum di London, Gandhi tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang India yang menjunjung tinggi nilai spiritual dan kemanusiaan. Ia kemudian bekerja di Afrika Selatan dan menyaksikan secara langsung diskriminasi rasial yang dialami warga India di bawah pemerintahan kolonial Inggris.
Dari sinilah lahir gagasan “Satyagraha”, yang kelak menjadi senjata utama dalam perjuangannya. Istilah “Satyagraha” berasal dari dua kata Sansekerta: Satya (kebenaran) dan Agraha (kekuatan atau keteguhan). Maka, Satyagraha berarti kekuatan kebenaran atau kekuatan jiwa — prinsip perjuangan yang berlandaskan moral, bukan kekerasan.
Satyagraha: Perlawanan Tanpa Kekerasan yang Mengguncang Dunia
Konsep Satyagraha lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial Inggris. Gandhi percaya bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kebencian baru, sementara kebenaran dan keteguhan hati dapat mengguncang sistem penindasan dari dalam.
Salah satu aksi Satyagraha paling terkenal terjadi pada tahun 1906 hingga 1908, ketika ribuan warga India di Afrika Selatan melanggar undang-undang diskriminatif Inggris. Mereka melintasi perbatasan Transvaal tanpa izin sebagai bentuk protes damai. Gandhi dan para pengikutnya ditangkap, namun semangat mereka tidak padam. Perlawanan tanpa kekerasan itu justru menggugah perhatian dunia internasional.
Aksi tersebut menegaskan bahwa kekuatan moral jauh lebih dahsyat daripada kekuatan senjata. Prinsip inilah yang kemudian mengilhami banyak tokoh perjuangan di seluruh dunia — termasuk Soekarno, Martin Luther King Jr., hingga Nelson Mandela.
Swadeshi: Gerakan Cinta Produk Lokal ala Gandhi
Selain Satyagraha, Gandhi juga memperkenalkan konsep Swadeshi, yaitu gerakan untuk menggunakan produk dalam negeri dan menolak produk penjajah. Bagi Gandhi, kemandirian ekonomi adalah bagian dari kemerdekaan sejati. Ia menegaskan bahwa penjajahan bisa runtuh jika rakyat berhenti menggantungkan diri pada produk Inggris.
Gandhi bahkan mengajak rakyat India untuk menenun kain sendiri (khadi) dan meninggalkan pakaian buatan Inggris. Gerakan ini bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga bentuk kesadaran ekonomi nasional. Akibatnya, ekonomi Inggris di India mulai melemah karena rakyat berhenti membeli barang-barang impor.
Gerakan Swadeshi ini memiliki kemiripan dengan gerakan ekonomi kerakyatan di Indonesia pada masa pergerakan nasional. Seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam, yang juga menekankan pentingnya berdikari secara ekonomi. Di sinilah terlihat, betapa gagasan Gandhi melintasi batas geografis dan menjadi inspirasi bangsa-bangsa Asia lainnya.
Relevansi Nilai Gandhi dalam Perjuangan Indonesia
Perjuangan Gandhi memiliki kemiripan yang kuat dengan semangat kemerdekaan Indonesia. Keduanya berangkat dari kondisi penindasan kolonial Eropa dan berujung pada kebangkitan nasional berbasis moral dan kemandirian.
Filosofi Gandhi tentang “kemerdekaan yang tidak hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga dari ketergantungan” sangat relevan dengan visi para pendiri bangsa Indonesia.
Soekarno sendiri mengakui bahwa perjuangan Gandhi menjadi sumber inspirasi gerakan nasional Indonesia. Ia menyebut Gandhi sebagai sosok yang mengajarkan “kemerdekaan batin sebelum kemerdekaan lahir.”
Dalam konteks Indonesia modern, nilai-nilai Gandhi masih sangat relevan — terutama dalam menghadapi berbagai tantangan seperti intoleransi, ketimpangan sosial, dan krisis moral.
Satyagraha dapat diartikan ulang sebagai semangat menjaga perdamaian sosial, sedangkan Swadeshi dapat dimaknai sebagai dorongan untuk mencintai produk dalam negeri dan memperkuat ekonomi nasional.
Peringatan 150 Tahun Gandhi di Indonesia: Lebih dari Sekadar Seremoni
Ketika Indonesia memperingati 150 tahun Mahatma Gandhi pada tahun 2019, acara tersebut bukan sekadar penghormatan simbolik. Dalam kegiatan yang digelar di Jakarta itu, Gubernur Anies Baswedan menegaskan pentingnya meneladani nilai-nilai perdamaian, kejujuran, dan keberanian moral Gandhi.
Acara tersebut dihadiri perwakilan diplomatik, pelajar, dan tokoh masyarakat yang mengapresiasi peran Gandhi dalam memperjuangkan kemerdekaan tanpa meneteskan darah. Duta Besar India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat, juga menegaskan bahwa hubungan Indonesia–India tidak hanya sebatas diplomasi politik, tetapi juga persaudaraan spiritual dan sejarah perjuangan.
Kedua negara ini sama-sama pernah dijajah, sama-sama memiliki keberagaman etnis dan agama, serta sama-sama berjuang untuk berdiri di atas kaki sendiri. Maka, memperingati Gandhi di Indonesia berarti menghidupkan kembali semangat anti-kekerasan dan kemandirian bangsa.
Jejak Ajaran Gandhi dalam Dunia Modern
Meski Gandhi telah wafat pada tahun 1948, ajaran dan pengaruhnya masih hidup hingga kini. Konsep Satyagraha kini banyak diadaptasi dalam berbagai gerakan sosial di dunia, mulai dari aktivisme lingkungan, hak asasi manusia, hingga perjuangan politik damai.
Bahkan di era digital, semangat Satyagraha tetap relevan. Melawan hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik dengan cara bijak, santun, dan berlandaskan kebenaran merupakan bentuk baru dari perjuangan moral ala Gandhi.
Di sisi lain, konsep Swadeshi kini berkembang menjadi gerakan ekonomi kreatif dan produk lokal di banyak negara, termasuk Indonesia. Kampanye seperti “Bangga Buatan Indonesia” adalah manifestasi nyata semangat Swadeshi di era globalisasi.
Pelajaran Berharga dari Gandhi untuk Bangsa Indonesia
Dari sosok Mahatma Gandhi, bangsa Indonesia bisa belajar tiga hal penting:
- Kekuatan moral lebih besar daripada kekuatan fisik. Perubahan sejati lahir dari hati dan keyakinan, bukan dari kekerasan.
- Kemandirian ekonomi adalah bagian dari kemerdekaan. Swadeshi mengajarkan bahwa bangsa yang ingin maju harus mencintai produk sendiri.
- Perdamaian adalah jalan peradaban. Satyagraha menunjukkan bahwa keteguhan dalam kebenaran dapat mengalahkan tirani.
Ketiga nilai itu menjadi relevan di tengah dinamika sosial Indonesia saat ini, di mana persatuan dan moralitas publik sering diuji oleh kepentingan sempit dan polarisasi politik.
Gandhi Hidup dalam Setiap Nilai Perdamaian
Mahatma Gandhi bukan hanya milik India, tetapi milik seluruh umat manusia. Ia adalah simbol perlawanan tanpa kekerasan, kejujuran tanpa pamrih, dan perjuangan tanpa kebencian.
Peringatan Gandhi di Indonesia adalah pengingat bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kebodohan, kebencian, dan ketergantungan.
Dalam dunia yang kini dipenuhi konflik dan perpecahan, nilai-nilai Gandhi menjadi oase moral bagi siapa pun yang ingin melihat perdamaian tumbuh dari dalam diri manusia.
Semangatnya abadi — mengajarkan kita bahwa kekuatan terbesar bangsa bukan pada senjata, melainkan pada kebenaran, moralitas, dan cinta terhadap sesama.***
