![]() |
Nasionalisme dan kebangkitan bangsa timur. (Foto: Arsip Nasional) |
BANYUWANGITERKINI.ID - Secara etimologis, istilah nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Dalam pengertian klasik, nasionalisme memiliki dua makna utama.
Pertama, nasionalisme dipahami sebagai paham kebangsaan yang didasarkan pada kejayaan masa lalu—yakni kebanggaan terhadap warisan sejarah, budaya, dan kejayaan leluhur.
Kedua, nasionalisme diartikan sebagai semangat menolak penjajahan untuk membentuk negara yang bersatu, berdaulat, dan merdeka.
Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme tidak sekadar bentuk rasa cinta tanah air, tetapi juga mencerminkan kesadaran kolektif suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam konteks modern, nasionalisme berkembang menjadi pemahaman yang lebih luas nasionalisme adalah kesamaan kewarganegaraan dari semua etnis dan budaya yang hidup dalam satu bangsa.
Dengan demikian, nasionalisme masa kini tidak lagi semata-mata bertumpu pada ras, suku, atau budaya tertentu, melainkan pada ikatan kewarganegaraan dan komitmen terhadap nilai-nilai negara.
Pergeseran Makna Nasionalisme di Era Modern
Menurut Kusuma Wardhani (2004), perubahan makna nasionalisme membawa konsekuensi penting. Jika dahulu nasionalisme identik dengan identitas nasional yang abstrak — seperti simbol negara atau kejayaan masa lalu — kini nasionalisme lebih konkret dan terwujud dalam bentuk:
- Pemerintahan yang bersih dan transparan
- Negara yang modern dan berdaya saing
- Demokrasi yang kuat
- Perlindungan hak asasi manusia
Perubahan paradigma ini menunjukkan bahwa nasionalisme di era globalisasi bukan hanya soal kebanggaan emosional terhadap bangsa, melainkan juga tanggung jawab warga negara untuk mewujudkan tata pemerintahan yang adil, bermoral, dan berpihak pada rakyat.
Kebangkitan Nasional: Lahirnya Kesadaran Kolektif Bangsa
Kebangkitan nasional merupakan salah satu fase terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Kebangkitan nasional menandai munculnya kesadaran baru akan pentingnya persatuan, kemerdekaan, dan identitas kebangsaan.
Secara historis, kebangkitan nasional muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme yang menindas bangsa-bangsa Timur, terutama di Asia dan Afrika, pada abad ke-19 hingga ke-20. Penjajahan yang berlangsung berabad-abad melahirkan penderitaan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial.
Dari kondisi inilah, lahir kesadaran untuk bangkit melawan dominasi bangsa asing. Beberapa faktor penting yang melatarbelakangi munculnya semangat nasionalisme di Asia antara lain:
- Penindasan kolonial yang menimbulkan kesengsaraan rakyat.
- Pendidikan dan pencerahan intelektual yang membuka wawasan tentang kemerdekaan dan hak-hak rakyat.
- Kemajuan teknologi dan komunikasi yang mempercepat penyebaran ide-ide pembebasan.
- Kebangkitan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang menginspirasi perlawanan rakyat.
Nasionalisme dalam Konteks Sejarah Asia
Bangsa-bangsa di Asia mengalami fase panjang penjajahan oleh kekuatan Eropa seperti Inggris, Belanda, Prancis, dan Spanyol. Kondisi ini mendorong lahirnya gerakan nasionalisme Asia, yang berfokus pada perjuangan merebut kemerdekaan dan membangun identitas baru sebagai bangsa yang merdeka.
Di India, misalnya, nasionalisme tumbuh melalui gerakan Indian National Congress (1885) yang memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris.
Di Filipina, tokoh José Rizal menjadi simbol kebangkitan nasional melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat anti-kolonialisme.
Sementara di Indonesia, nasionalisme muncul melalui organisasi modern seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), dan Perhimpunan Indonesia (1925).
Gerakan-gerakan tersebut memiliki kesamaan tujuan, yaitu mewujudkan kemerdekaan, persamaan, dan kemandirian bangsa.
Nasionalisme Indonesia: Dari Kesadaran hingga Kemerdekaan
Di Indonesia, nasionalisme tidak lahir secara tiba-tiba. Ia tumbuh melalui proses panjang kesadaran sejarah yang dipupuk oleh penderitaan akibat penjajahan Belanda selama lebih dari tiga abad.
Awalnya, perlawanan rakyat masih bersifat lokal dan kedaerahan — seperti perlawanan Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatra, dan Pattimura di Maluku.
Namun, seiring masuknya pendidikan Barat dan media modern, muncul generasi terdidik yang mulai memikirkan persatuan bangsa secara nasional.
Tahun 1908 menjadi tonggak awal Kebangkitan Nasional Indonesia dengan berdirinya Budi Utomo, yang dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo. Organisasi ini menandai lahirnya kesadaran bahwa perjuangan harus dilakukan secara terorganisasi dan berdasarkan kesatuan bangsa, bukan lagi kedaerahan.
Selanjutnya, semangat nasionalisme semakin menguat melalui lahirnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) yang menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia.
Puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika seluruh elemen bangsa bersatu untuk menegaskan kemerdekaan dan kedaulatannya di hadapan dunia.
Nasionalisme dan Tantangan Globalisasi
Memasuki abad ke-21, nasionalisme menghadapi tantangan baru. Globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap batas-batas negara dan identitas kebangsaan.
Arus informasi yang cepat, budaya populer global, serta dominasi ekonomi transnasional membuat semangat nasionalisme sering kali tergerus oleh gaya hidup modern.
Namun, di sisi lain, globalisasi juga membuka peluang bagi munculnya nasionalisme baru — nasionalisme yang lebih rasional dan terbuka.
Bentuk nasionalisme modern menekankan pada kemandirian ekonomi, penguasaan teknologi, dan partisipasi aktif dalam diplomasi internasional.
Generasi muda kini dituntut tidak hanya mencintai tanah air secara simbolik, tetapi juga menunjukkan kontribusi nyata melalui prestasi, inovasi, dan pengabdian bagi bangsa.
Nasionalisme dan Pemerintahan Modern
Dalam konteks pemerintahan, nasionalisme harus tercermin dalam praktik kenegaraan yang bersih, jujur, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pemerintahan yang korup, otoriter, dan tidak transparan justru bertentangan dengan semangat nasionalisme sejati.
Nasionalisme modern menuntut adanya pemerintahan demokratis yang melindungi hak asasi manusia (HAM), memberikan keadilan sosial, dan memastikan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, identitas nasional hari ini tidak lagi abstrak seperti simbol-simbol atau slogan, melainkan konkret terwujud dalam pemerintahan yang akuntabel, masyarakat yang beretika, dan bangsa yang berdaulat di tengah dunia global.
Nasionalisme dan Identitas Bangsa
Nasionalisme juga berperan penting dalam menjaga identitas bangsa. Di tengah derasnya pengaruh budaya asing, nasionalisme menjadi pagar agar masyarakat tidak kehilangan jati diri.
Namun, nasionalisme yang ideal bukan berarti menolak modernisasi.
Sebaliknya, nasionalisme sejati adalah mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan akar budaya sendiri.
Itulah sebabnya, pendidikan nasional berperan strategis dalam membentuk karakter bangsa yang kuat dan berintegritas. Melalui sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai kebangsaan, generasi muda dapat memahami bahwa nasionalisme bukan sekadar hafalan sejarah, tetapi semangat hidup yang terus diperjuangkan.
Nasionalisme sebagai Daya Hidup Bangsa
Nasionalisme adalah roh yang menghidupkan eksistensi suatu bangsa. Ia bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga semangat yang harus terus diperbarui sesuai perkembangan zaman.
Dari masa kolonial hingga era globalisasi, nasionalisme selalu menjadi energi pemersatu dan pendorong perubahan menuju kemajuan.
Bagi bangsa Indonesia, nasionalisme adalah fondasi dari semua perjuangan dari perlawanan terhadap penjajahan, lahirnya Sumpah Pemuda, hingga kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata.
Kini, tantangan nasionalisme bukan lagi melawan penjajah asing, melainkan melawan korupsi, kemiskinan, dan kebodohan.
Menjaga nasionalisme berarti menjaga masa depan bangsa. Seperti kata Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”***