GUz9GfGlGpCiGUz7TfAlTpz7Td==

Jejak Komunitas Jawi: Cikal Bakal Jaringan Pelajar Indonesia di Dunia Islam

Ilustrasi jejak Komunitas Jawi yang menjadi cikal bakal PPI se-Dunia. (Foto: Istimewa)

BANYUWANGITERKINI.IDApakah Anda pernah mendengar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Dunia? Organisasi ini menjadi wadah bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai negara. PPI Dunia berfungsi sebagai ruang kolaborasi intelektual, diplomasi budaya, dan penguatan identitas bangsa di kancah internasional.

Menariknya, jika kita menelusuri sejarahnya, semangat berhimpun para pelajar Indonesia di luar negeri ternyata bukan hal baru. Jauh sebelum era modern, cikal bakal PPI sudah tampak dalam bentuk komunitas ulama dan pelajar Nusantara di Tanah Suci, Makkah. Mereka dikenal sebagai Komunitas Jawi — kelompok masyarakat dan ulama Asia Tenggara yang bermukim di Hijaz sejak abad ke-17.

Komunitas ini bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga pusat pertemuan gagasan, tempat bertemunya keilmuan Islam klasik dengan semangat pembaruan. Dari sinilah lahir para tokoh besar yang kelak membentuk wajah intelektual dan spiritual bangsa Indonesia.

Komunitas Jawi: Cikal Bakal Jaringan Pelajar Indonesia di Dunia Islam

Pada abad ke-17 hingga ke-19, Makkah menjadi magnet bagi umat Islam dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Nusantara. Para santri dan ulama dari Aceh, Minangkabau, Banten, Bugis, hingga Palembang datang untuk memperdalam agama. Mereka dikenal di Tanah Suci dengan sebutan Kaum Jawi, sebutan umum bagi penduduk dari wilayah “Jawah” — istilah Arab untuk Asia Tenggara.

Menurut sejarawan Iswanto (2013), Komunitas Jawi berperan besar menjadikan Makkah sebagai pusat kehidupan keagamaan bagi umat Islam Indonesia. Di sana, para pelajar Nusantara tidak hanya belajar, tetapi juga mendirikan halaqah (kelompok belajar) dan madrasah, serta membentuk jaringan sosial lintas etnis yang berfungsi layaknya komunitas diaspora pelajar zaman modern.

Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di Makkah kemudian mereka bawa pulang ke tanah air. Dari sanalah lahir sistem pendidikan Islam khas Nusantara — pesantren, surau, dan dayah — yang hingga kini menjadi pilar utama pendidikan Islam di Indonesia.

Ulama Perintis Komunitas Jawi: Jejak Intelektual Nusantara di Tanah Suci

Cikal bakal Komunitas Jawi mulai terbentuk berkat peran besar para ulama Nusantara abad ke-17 seperti Nuruddin ar-Raniri dari Aceh, Abdul Rauf as-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Makassari.

Mereka bukan sekadar pelajar, tetapi juga tokoh penyebar Islam yang membawa semangat reformasi spiritual dan intelektual.

Nuruddin ar-Raniri misalnya, dikenal sebagai ulama istana di Kesultanan Aceh yang memperkenalkan pemikiran tasawuf yang moderat. Sementara Abdul Rauf as-Singkili menjadi pionir penulisan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu — karya monumental yang membuka akses pengetahuan Islam bagi masyarakat awam.

Muhammad Yusuf al-Makassari, di sisi lain, mencerminkan dimensi perjuangan. Setelah menimba ilmu di Makkah dan Yaman, ia kembali ke tanah air untuk menentang penjajahan VOC. Akibat perlawanan itu, ia diasingkan ke Afrika Selatan, namun semangatnya menjadikan Islam sebagai dasar perlawanan terhadap kolonialisme tetap hidup di Nusantara.

Abad ke-18: Komunitas Jawi Makin Menguat di Makkah

Memasuki abad ke-18, jaringan ulama Nusantara di Makkah semakin berkembang. Tokoh-tokoh seperti Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani, Kemas Fakhr al-Din, Syihab al-Din, dan Muhammad Arsyad al-Banjari menjadi generasi penerus yang memperkuat peran Komunitas Jawi sebagai pusat pembelajaran Islam.

Di antara mereka, Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani menonjol dengan karya monumental berjudul Fadha’il al-Jihad, yang menyerukan pentingnya perjuangan melawan penjajah sebagai bagian dari kewajiban agama.

Kitab ini menjadi rujukan moral dan spiritual bagi banyak pejuang Muslim di Nusantara. Gagasannya seolah menjadi benih awal dari nasionalisme keagamaan, di mana perjuangan melawan kolonialisme didasari oleh nilai-nilai iman dan keadilan sosial.

Muhammad Nawawi al-Bantani: Sang Arsitek Pesantren Nusantara

Lahir di Banten tahun 1813, Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi salah satu ulama paling berpengaruh dalam sejarah Islam di Indonesia. Ia menempuh pendidikan di Tanah Suci dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Makkah hingga wafat pada tahun 1897.

Nawawi dikenal luas di dunia Islam dan bahkan digelari “Sayyid Ulama al-Hijaz”, sebuah gelar kehormatan bagi ulama tertinggi di wilayah Hijaz (kini Arab Saudi bagian barat).

Lebih dari 30 kitab karyanya menjadi bahan ajar di pesantren-pesantren Indonesia hingga kini. Di antaranya Tafsir Marah Labid dan Nihayatuz Zain — dua karya penting yang menjembatani pemahaman Islam tradisional dan pemikiran rasional.

Karena kontribusinya yang besar terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia, banyak sejarawan menyebut Nawawi al-Bantani sebagai arsitek pesantren Nusantara.

Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Pembaru Fikih dan Jembatan Intelektual

Tokoh lain yang tak kalah penting adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Lahir di Sumatera Barat, ia kemudian menjadi Imam dan pengajar di Masjidil Haram — posisi yang sangat bergengsi bagi seorang ulama asal Nusantara.

Ahmad Khatib memiliki hubungan yang erat dengan para jamaah haji dan pelajar Indonesia yang datang ke Makkah. Ia menjadi figur sentral yang menghubungkan dunia Islam Timur Tengah dengan dunia Islam di Nusantara.

Lebih dari itu, ia dikenal sebagai ulama yang berpikiran maju. Ahmad Khatib kerap memperkenalkan murid-muridnya pada pemikiran pembaharuan Islam, dengan memperkenalkan tulisan-tulisan dari Muhammad Abduh dan majalah al-Urwah al-Wusqa — dua publikasi utama gerakan reformis Mesir (Noer, 1980).

Menurut Taufik Abdullah (2013), hal ini menjadi saluran penting masuknya gagasan modernisasi Islam ke Indonesia, terutama dalam hal pendidikan, hukum, dan peran umat Islam di ruang publik.

Transmisi Ilmu dan Lahirnya Nasionalisme Religius

Hubungan antara Komunitas Jawi dan tanah air tidak berhenti pada aspek keagamaan saja. Ulama-ulama yang kembali dari Makkah membawa pulang semangat baru — semangat kebangkitan dan kesadaran identitas bangsa.

Di masa penjajahan Belanda, pesantren dan surau menjadi basis perjuangan rakyat. Ajaran jihad dalam makna spiritual maupun sosial digunakan untuk membangun perlawanan terhadap penindasan kolonial.

Fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, tetapi tumbuh dari akar religius dan intelektual yang kuat, yang salah satunya berasal dari jaringan Komunitas Jawi di Makkah.

Jejaknya di Masa Kini: Dari Komunitas Jawi ke PPI Dunia

Lebih dari seabad kemudian, semangat yang sama muncul kembali di kalangan pelajar Indonesia modern. Bedanya, kini mereka berhimpun di bawah bendera Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Dunia.

Organisasi ini lahir dari penyelenggaraan Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) di Universitas New South Wales (UNSW), Sydney, Australia. Tujuannya jelas: memperkuat solidaritas pelajar Indonesia di luar negeri, memperjuangkan kepentingan nasional, dan menjadi duta bangsa di kancah global.

Seperti halnya Komunitas Jawi, PPI Dunia bukan sekadar wadah akademis, tetapi juga ruang pertukaran ide, tempat bertemunya ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai kebangsaan.

Kedua komunitas ini — meski terpisah waktu berabad-abad — memiliki kesamaan visi: menjadikan pendidikan sebagai jalan perjuangan untuk kemajuan bangsa.

Warisan Komunitas Jawi bagi Bangsa Indonesia

Warisan terbesar Komunitas Jawi tidak hanya berupa peninggalan kitab-kitab klasik atau tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga semangat kosmopolitanisme Islam Nusantara.

Para ulama Jawi membuktikan bahwa menjadi religius tidak berarti tertutup terhadap pembaruan. Mereka menggabungkan nilai-nilai Islam dengan semangat kemerdekaan, keadilan, dan ilmu pengetahuan.

Warisan inilah yang hingga kini menjadi dasar bagi Indonesia sebagai negara yang berlandaskan agama, moral, dan kebangsaan.

Baik Komunitas Jawi di masa lalu maupun PPI Dunia di masa kini, keduanya menjadi simbol bahwa pelajar Indonesia di manapun berada selalu memiliki tanggung jawab sejarah: mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal.

Dari Makkah ke Dunia, dari Ulama ke Mahasiswa

Sejarah panjang pelajar Indonesia di luar negeri adalah kisah tentang pencarian ilmu, identitas, dan kebangsaan. Dari halaqah di Makkah hingga forum internasional di Sydney, semangatnya tetap sama — menimba ilmu demi kemajuan bangsa.

Komunitas Jawi mungkin telah menjadi bagian dari masa lalu, tetapi nilai dan semangatnya hidup dalam setiap pelajar Indonesia yang berjuang di luar negeri hari ini. Dari Tanah Suci hingga benua Eropa dan Amerika, dari pesantren hingga kampus internasional, jiwa pelajar Nusantara tetap satu: belajar, berbakti, dan membangun negeri.***

Ketik kata kunci lalu Enter